Minggu, 02 April 2017

Sebuah kisah yang akan saya kerjakan setelah selesai Studi Di Sulawesi.

Dimulai dari daerah Ampana yang adalah daerah pemekaran dari kabupaten Poso. Sebenarnya kalau melihat dari situasi di daerah ini tidak memungkinkan untuk dimekarkan karena sumberdaya manusia masih kurang. Apalgi ditambah pasca kerusuhan di Poso di tahun 2000-2002 membuat Ampana semakin sempit untuk dijajaki. Sepengetahuan saya, pada tahun 2004 Pdt. Rudy Baho pernah penginjilan di daerah ini khususnya di daerah bongka. Pada saat itu akses ketempat itu tidak seperti sekarang yang bisa dilalui oleh kendaraan bermotor dan perahu motor. Pada tahun-tahun itu mereka harus berjalan kaki untuk sampai kedaerah tujuan tersebut. Mereka harus melewati Gunung Pingsan(saya lupa namanya hanya artinya saja). Gunung ini dijuluki gunung pingsan karena bila tidak terbiasa melintasi daerah hutan yang lebat dengan gunung yang tinggi kita bisa saja pingsan karena kelelahan, tidak Cuma itu adalah satu lagi gunung yang sebut gunung Mantangisi (siapa yang mendaki digunung itu maka bukan saja pingsan tetapi menangis sampai pingsan). Ketika mereka pulang mereka naik rakit bambu buatan tangan sendiri dan turun mengikuti arus air, antara hidup dan mati.
Pada Desember 2016 kemarin, saya berkesempatan untuk datang didaerah itu bersama dengan Pdt. Rudy Baho dan tim Imanuel ministri. Satu kesempatan yang baik karena bisa melihat manusia ciptaan Tuhan yang berada dalam hutan yang begitu lebat dan kanopinya rapat. Untungnya kami tidak perlu jalan kaki seperti tahun 2004 silam sewaktu om ruddy jalan dengan timnya. Kendaraan bermitir sudah bisa melewati daerah itu, hanya saja kita perlu doa dan puasa agar hujan tidak turun, karena apabila turun habislah kita dan kita tidak dapat melanjutkan perjalanan karena jalan masi tanah liat belum ada sentuhan aspal di jalan tersebut. Perjalanan memakan waktu 7 jam dari tempat saya, 4 jam sampai ujung jalan tersebut, 1 jam kita harus melewati jalur air dengan menggunakan perahu motor, satu jam naik sendal, atau jalan kaki. Betapa kejamnya daerah itu namun itulah ciptaan Tuhan, lebih kejam lagi saat saya tahu bahwa ada manusia hidup.
Sesampai disitu kami langsung melanjutkan pelayanan. Selesailah cerita hari itu hehehehe.  Paginya saya mencoba jalan-jalan dikampung itu, sembari melihat gunung dan padang rumput yang luas dan mengucap syukur kepada Yesus yang maha kuasa atas ciptaannya yang begitu indah. Entah mengapa saya tertuju ke satu tempat yang disebut disana Baruga atau kita kenal dengan Pedopo yah? Yah gitulah, terperanjatnya diri ini ketika melihat bahwa itu adalah tempat dimana mereka belajar, memangsih sudah banyak orang yang datang kesitu, namun tidak ada yang mau tinggal menetap disitu dalam waktu yang lama, kursi dan meja yang seadanya, papan tulis dengan ukuran panjag 1,5 x lebar 4 meter di bagi 3 dan di ajar dengan seadanya, dan mungkin gurunya hanya orang-orang distu yang sudah pernah mengenyam pendidikan SD, atau SMP. Sebenarnya setelah melihat hal itu saya sudah memikirkan untuk membangun sebuah sekolah yang layak untuk anak-anak di tempat itu. sekembalinya saya dari situ saya mulai memperhatikan satu persatu penduduk dikampung itu, ada yang sudah terbuka dengan dunia luar tapi masih juga ada yang liar.
Ini awal dari ilham Roh itu dalam kepala saya. Saya mulai mendalami lagi observasi saya didaerah itu, ternyata ada kerabat Om rudy yang mempunyai pelayan misi didaerah gunung mantangisi itu. kata Pdt itu bahwa disitu lebih liar lagi manusianya. Wah memang orang sulawesi ini pada liar yah. Saya teringat bahwa ada tiga suku besar didaerah tengah sulawesi itu yaitu, Pamona (suku saya), Wana (suku orang-orang ini) dan suku Lore daerah gunung sebelah barat Kota Poso, hanya saja orang pamona dan Bada sudah 96% terbuka dengan pengaruh luar. Ketiga suku ini adalah suku asli pegunungan didaerah sulawesi tengah. Ketiganya suku perang pada tahun 1700-1800 akhir. Namu suku wana yang masih eksis menjaga budaya dan daeranya dan menutup diri dari dunia luar. Daerah ini awal tahun ini akan dibangun PLTA yang dikerjakan oleh PT. Soma Power Indonesia. Ini peluang sebagaimana yang dijelaskan oleh Om Bang Elia 20% ke masyarakat dari hasil pajak perusahaan, artinya ada dana segar yang bergulir nantinya. Bila itu terlaksana dengan baik maka apa yang akan saya kerjakan ini bisa dipercepat, hanya saja pesa Om bang Elia kalau dilapangan jangan pernah percaya sama Orang, percaya sama Yesus saja.
Lanjut, pikir saya kalau daerah itu hanya mapala yang ada didaerah Poso, Palu, Ampana, dan Luwuk yang pernah ke daerah ini. Mapala MAHITALA UNPAR (Universitas Katholik Parahyangan Bandung) pernah kesitu cui. Kita dapat lagi satu bahan ajar, pengajar, dan ilmu yang bisa bermanfaat untuk orang-orang di daerah itu, bukan memanfaatkan mereka yah. Karena itu setelah saya memikirkan hal-hal ini. Maka akan ada banyak pengaruh yang saya bisa bawah, salah satunya penambahan Ilmu dari mapala UNPAR kepada Mapala-mapala Lokal. Kerenkan? Nah, apakah itu bisa mengahasilkan sebuah karya yang memuaskan? Butet Manurung dalam wawancara di Talkshow Mata Najwa mengemukakan beliau takut kalau apa yang diberikan kepada dia itu tidak akan berkembang. Ini juga yang akhirnya saya pikirkan, bila nanti saya menikah, apakah saya akan berada dihutan itu terus? Hahaha ngak usahlah dulu memikirkan itu karena saya belum akan menikah secepat-cepatnya.

Kalau di salatiga Unsur Tanah dan air sebagai sarana untuk melesatarikan alam, maka saya juga akan memakai unsur yang sama. Namun disini berbeda dengan yang ada disana, kalau disini untuk melestarikan lingkungan kalau disana mengupayakan untuk alam tetap lestari. Nah degan ini saya menganggap apa yang akan saya buat sudah jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ki Hajar Dewantara Pejuang Pendidikan

Tokoh Pendidikan Ki Hajar Dewantara                         Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar D...