Sebuah kisah yang akan saya kerjakan setelah selesai Studi Di Sulawesi.
Dimulai dari daerah Ampana yang adalah daerah pemekaran dari kabupaten Poso. Sebenarnya kalau
melihat dari situasi di daerah ini tidak memungkinkan untuk dimekarkan karena
sumberdaya manusia masih kurang. Apalgi ditambah pasca kerusuhan di Poso di
tahun 2000-2002 membuat Ampana semakin sempit untuk dijajaki. Sepengetahuan
saya, pada tahun 2004 Pdt. Rudy Baho pernah penginjilan di daerah ini khususnya
di daerah bongka. Pada saat itu akses ketempat itu tidak seperti sekarang yang
bisa dilalui oleh kendaraan bermotor dan perahu motor. Pada tahun-tahun itu
mereka harus berjalan kaki untuk sampai kedaerah tujuan tersebut. Mereka harus
melewati Gunung Pingsan(saya lupa namanya hanya artinya saja). Gunung ini
dijuluki gunung pingsan karena bila tidak terbiasa melintasi daerah hutan yang lebat
dengan gunung yang tinggi kita bisa saja pingsan karena kelelahan, tidak Cuma
itu adalah satu lagi gunung yang sebut gunung Mantangisi (siapa yang mendaki
digunung itu maka bukan saja pingsan tetapi menangis sampai pingsan). Ketika
mereka pulang mereka naik rakit bambu buatan tangan sendiri dan turun mengikuti
arus air, antara hidup dan mati.
Pada Desember 2016 kemarin, saya berkesempatan untuk datang didaerah itu
bersama dengan Pdt. Rudy Baho dan tim Imanuel ministri. Satu kesempatan yang
baik karena bisa melihat manusia ciptaan Tuhan yang berada dalam hutan yang
begitu lebat dan kanopinya rapat. Untungnya kami tidak perlu jalan kaki seperti
tahun 2004 silam sewaktu om ruddy jalan dengan timnya. Kendaraan bermitir sudah
bisa melewati daerah itu, hanya saja kita perlu doa dan puasa agar hujan tidak
turun, karena apabila turun habislah kita dan kita tidak dapat melanjutkan
perjalanan karena jalan masi tanah liat belum ada sentuhan aspal di jalan
tersebut. Perjalanan memakan waktu 7 jam dari tempat saya, 4 jam sampai ujung
jalan tersebut, 1 jam kita harus melewati jalur air dengan menggunakan perahu
motor, satu jam naik sendal, atau jalan kaki. Betapa kejamnya daerah itu namun
itulah ciptaan Tuhan, lebih kejam lagi saat saya tahu bahwa ada manusia hidup.
Sesampai disitu kami langsung melanjutkan pelayanan. Selesailah cerita hari
itu hehehehe. Paginya saya mencoba
jalan-jalan dikampung itu, sembari melihat gunung dan padang rumput yang luas
dan mengucap syukur kepada Yesus yang maha kuasa atas ciptaannya yang begitu
indah. Entah mengapa saya tertuju ke satu tempat yang disebut disana Baruga
atau kita kenal dengan Pedopo yah? Yah gitulah, terperanjatnya diri ini ketika
melihat bahwa itu adalah tempat dimana mereka belajar, memangsih sudah banyak
orang yang datang kesitu, namun tidak ada yang mau tinggal menetap disitu dalam
waktu yang lama, kursi dan meja yang seadanya, papan tulis dengan ukuran panjag
1,5 x lebar 4 meter di bagi 3 dan di ajar dengan seadanya, dan mungkin gurunya
hanya orang-orang distu yang sudah pernah mengenyam pendidikan SD, atau SMP.
Sebenarnya setelah melihat hal itu saya sudah memikirkan untuk membangun sebuah
sekolah yang layak untuk anak-anak di tempat itu. sekembalinya saya dari situ
saya mulai memperhatikan satu persatu penduduk dikampung itu, ada yang sudah
terbuka dengan dunia luar tapi masih juga ada yang liar.
Ini awal dari ilham Roh itu dalam kepala saya. Saya mulai mendalami lagi
observasi saya didaerah itu, ternyata ada kerabat Om rudy yang mempunyai
pelayan misi didaerah gunung mantangisi itu. kata Pdt itu bahwa disitu lebih
liar lagi manusianya. Wah memang orang sulawesi ini pada liar yah. Saya
teringat bahwa ada tiga suku besar didaerah tengah sulawesi itu yaitu, Pamona
(suku saya), Wana (suku orang-orang ini) dan suku Lore daerah gunung sebelah
barat Kota Poso, hanya saja orang pamona dan Bada sudah 96% terbuka dengan
pengaruh luar. Ketiga suku ini adalah suku asli pegunungan didaerah sulawesi
tengah. Ketiganya suku perang pada tahun 1700-1800 akhir. Namu suku wana yang
masih eksis menjaga budaya dan daeranya dan menutup diri dari dunia luar.
Daerah ini awal tahun ini akan dibangun PLTA yang dikerjakan oleh PT. Soma
Power Indonesia. Ini peluang sebagaimana yang dijelaskan oleh Om Bang Elia 20%
ke masyarakat dari hasil pajak perusahaan, artinya ada dana segar yang bergulir
nantinya. Bila itu terlaksana dengan baik maka apa yang akan saya kerjakan ini
bisa dipercepat, hanya saja pesa Om bang Elia kalau dilapangan jangan pernah
percaya sama Orang, percaya sama Yesus saja.
Lanjut, pikir saya kalau daerah itu hanya mapala yang ada didaerah Poso,
Palu, Ampana, dan Luwuk yang pernah ke daerah ini. Mapala MAHITALA UNPAR
(Universitas Katholik Parahyangan Bandung) pernah kesitu cui. Kita dapat lagi
satu bahan ajar, pengajar, dan ilmu yang bisa bermanfaat untuk orang-orang di
daerah itu, bukan memanfaatkan mereka yah. Karena itu setelah saya memikirkan
hal-hal ini. Maka akan ada banyak pengaruh yang saya bisa bawah, salah satunya
penambahan Ilmu dari mapala UNPAR kepada Mapala-mapala Lokal. Kerenkan? Nah,
apakah itu bisa mengahasilkan sebuah karya yang memuaskan? Butet Manurung dalam
wawancara di Talkshow Mata Najwa mengemukakan beliau takut kalau apa yang
diberikan kepada dia itu tidak akan berkembang. Ini juga yang akhirnya saya
pikirkan, bila nanti saya menikah, apakah saya akan berada dihutan itu terus?
Hahaha ngak usahlah dulu memikirkan itu karena saya belum akan menikah
secepat-cepatnya.
Kalau di salatiga Unsur Tanah dan air sebagai sarana untuk melesatarikan
alam, maka saya juga akan memakai unsur yang sama. Namun disini berbeda dengan
yang ada disana, kalau disini untuk melestarikan lingkungan kalau disana
mengupayakan untuk alam tetap lestari. Nah degan ini saya menganggap apa yang
akan saya buat sudah jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar